Kamis, 01 Mei 2014

KEPUTUSAN BERSAMA TATA TERTIB PENGAJIAN YASIN AL-IKHKLAS



KEPUTUSAN BERSAMA TATA TERTIB PENGAJIAN YASIN
AL-IKHKLAS
Assalamualaikum wr.wb
Berdasarkan Pengajian yang di adakan pada hari Kamis tanggal 17 April 2014 di Rumah
Bapak Loso. Maka anggota Yasinan AL_Ikhlas telah sepakat dan setuju untuk me-revisi
Tata Tertib Pengajian yangb secara rutin diadakan setiap hari kamis malam, mengingat
Tata tertib yang telah kita sepakati bersama perlu untuk di tambah atau di kurangi yang
Bertujuan demi kesinambungan pengajian untuk masa yang akan datang serta menambah
Erat silaturahmi sesame anggota.
 
Adapun Tata Tertib yang telah disepakati:
1.      Pengajian diadakan setiap hari kamis ,malam dengan ketentuan :
a.      Minggu pertama membaca Surah Yasiin.
b.      Minggu Kedua Sholawatan.
Dengan kata lain selang seling

2.      Untuk penentuan tempat pengajian tiap akir bulan dengan jalan di Lot sekaligus
Untuk satu Bulan.
a.      Bilamana Yang Berketempatan tersebut,seandainya sewaktu-waktu salah satu
Anggota Yasiinan mendapat musibah,maka otomatis tempat Yasiinan di tempat
Ahli bait yang tertimpa musibah…tersebut.

b.      Bila mana ada keluatga dari salah satu anggota Yasiinan Al-Ikhlas memohon
(mempunyai hajat) otomatis yang bersangkutan dengan anggota yang ber-
Ketempatan dapat bermusyawarah(berunding). Untuk kemufakatan bersama.

3.      Apabila waktu Sholat Isya sudah masuk , jika yang berketempatan jauh dari masjid atau mushalla’ maka akan di laksanakan Sholat Isya berjamaah di tempat.
Akan tetapi bilamana rumah yang berketempatan itu dekat dengan masjid atau mushalla’ maka akan di laksanakan Sholat Isya berjamaah di masjid atau mushalla
Tersebut.  Untuk itu Di utamakan Sholat berjamaah di masjid atau mushalla.

4.      Dzikir sesudah Sholat hendaklah seragam yang di teruskan dengan doa.
5.      Diharapkan acara membaca Surah Yasiin maupun Sholawatan selesai pukul 22.00
Wib (jam 10 malam )
6.      Pengadaan Konsumsi di sediakan Snac saja kecuali dari tuan rumah yang ketempatan
Pengajian atau Sholawatan mempunyai Hajatan.
7.      Anggota yang berketempatan di minggu selanjutnya disarankan agar membawa sajadah (tikarSholat) inventasi demi lancarnya pelaksanaan acara. Itu bila dirasa perlu untuk Sholat di rumah yang berketempatan. Akan tetapi bila Sholatnya di laksanakan di masjid atau mushalla’mungkin tidak di perlukan.
8.      Anggota Yasiinan / Keluarga ( Orang tuakandung,Istri dan Anak kandung) yang
Mendapat kemalangan sakit/meninggal akan di berikan santunan sbb:

a.      Opname   :  Rp.300.000__(Tiga Ratus ribu rupiah)
b.      Operasi    :  Rp.500.000__( Lima ratus ribu rupiah)
c.       Kematian:  Rp.500.000__( Lima ratus ribu rupiah)

Demikian tata Tertib Pengajian Yasiinan  Al-Ikhlas disampaikan dengan harapan dapat kita kaji bersama. Amin
 Ketua : LOSO                               Sekretaris:   H.S. HARYANTO         


DOKUMEN JEMAAH WIRIT YASIIN AL-IKHLAS BUKIT TINGGI 01MEI2014


Tradisi Yasiinan maupun Sholawatan.



Tradisi berkumpul di malam pertama, kedua, ketiga dan bahkan kadang sampai hari ketujuh dari meninggalnya seseorang dengan jamuan makanan, hukumnya di khilafkan oleh para ulama’, yaitu antara mubah dan makruh. Maksudnya adalah sengaja membuat acara “jamuan makan” dengan mengundang orang banyak. Tetapi kalau diniatkan sedekah dan pahalanya untuk mayyit justru hukumnya sunnah. Apalagi kalau dalam perkumpulan tersebut di bacakan al-Qur’anm seperti Surat Yasin, Surat al-Fatihah, al-Ihlas, Muawwidzatain dan bacaan-bacaan tahmid, takbir, tasbih, dan tahlil. Kemudian pahala bacaan-bacaan tersebut di hadiahkan kepada mayit, justru akan lebih bermanfaat untuk mayit. Di dalam kitab Syarah Imam Nawawi ala Shahih Muslim juz 7 hal 90 disebutkan,
Dan dalam hadits ini (hadits riwayat shahih muslim diatas) menjelaskan bahwa shadaqah untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan pahalanya sampai pada mayyit, demikian pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, dan demikian pula mereka bersepakat atas sampainya doa-doa” (Syarah Imam Nawawi ala Shahih Muslim juz 7 hal 90)
*****************************Mengenahi pendapat imam nawawi dalam hal jamuan makan keluarga mayyit, beliau mengatakan Ghairu Mustahabbah, artinya tidak disunnahkan, bukan haram. Akan tetapi orang-orang wahabi telah mengklaim haram dengan dasar perkataan Imam Nawawi. Padahal dengan jelas sekali Imam Nawawi mengatakan ghairumustahabbah. Sedangkan mengenai kata “Bid’ah” sebagaimana mereka menukil ucapan Imam Nawawi, maka ketahuilah bahwa Bid’ah menurut WAHABI sangat jauh berbeda dengan BID’AH menurut Imam Nawawi, Imam Nawawi berpendapat bid’ah terbagi menjadi lima, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Sedangkan orang-orang WAHABI bilang, “semua bid’ah itu sesat”.
ﻓﻠﻤﺎ ﺍﺣﺘﻀﺮﻋﻤﺮ ﺃﻣﺮ ﺻﻬﻴﺒﺎ ﺃﻥ ﻳﺼﻠﻲ ﺑﺎﻟﻨﺎﺱ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ، ﻭﺃﻣﺮ ﺃﻥ ﻳﺠﻌﻞ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﻃﻌﺎﻡ ﻓﻴﻄﻌﻤﻮﺍ ﺣﺘﻰ ﻳﺴﺘﺨﻠﻔﻮﺍ ﺇﻧﺴﺎﻧﺎ ، ﻓﻠﻤﺎ ﺭﺟﻌﻮﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻨﺎﺯﺓ ﺟﺊ ﺑﺎﻟﻄﻌﺎﻡ ﻭﻭﺿﻌﺖ ﺍﻟﻤﻮﺍﺋﺪ، ﻓﺄﻣﺴﻚ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻨﻬﺎ ﻟﻠﺤﺰﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﻫﻢ ﻓﻴﻪ ، ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻤﻄﻠﺐ : ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ! ، ﺇﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺪ ﻣﺎﺕ ﻓﺄﻛﻠﻨﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﻭﺷﺮﺑﻨﺎ ﻭﻣﺎﺕ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻓﺄﻛﻠﻨﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﻭﺷﺮﺑﻨﺎ ﻭﺇﻧﻪ ﻻﺑﺪ ﻣﻦ ﺍﻻﺟﻞ ﻓﻜﻠﻮﺍ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ، ﺛﻢ ﻣﺪ ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ ﻳﺪﻩ ﻓﺄﻛﻞ ﻭﻣﺪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺃﻳﺪﻳﻬﻢ ﻓﺄﻛﻠﻮﺍ
Ketika Umar ra terluka sebelum wafatnya, ia memerintahkan pada Shuhaib untuk memimpin shalat, dan memberi makan para tamu selama 3 hari hingga mereka memilih seseorang, Ketika mereka selesai dari mengantarkan janazah (Umar ra.). maka hidangan-hidangan-pun ditaruhkan, orang-orang tak mau makan karena sedihnya, maka berkatalah Abbas bin Abdulmuttalib ra : Wahai hadirin.., sungguh telah wafat Rasulullah saw dan kita makan dan minum setelahnya, lalu wafat Abubakar ra dan kita makan dan minum sesudahnya, dan ajal itu adalah hal yang mesti, maka makanlah makanan ini..!”, lalu beliau ra mengulurkan tangannya dan makan, maka orang-orang pun mengulurkan tangannya masing – masing dan makan.! (Al Fawaidussyahiir Li Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul ummaal fii sunanil aqwaal wal af’al Juz 13 hal 309, Thabaqatul Kubra Li Ibn Sa’d Juz 4 hal 29, Tarikh Dimasyq juz 26 hal 373, Al Makrifah wattaarikh Juz 1 hal 110).

SEJARAH MAULID NABI



SEJARAH MAULID NABI –Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
Asal muasal Maulid Nabi, yaitu berasal dari kaum bathiniyyah (kebatinan) yang memiliki dasar-dasar akidah Majusi dan Yahudi yang menghidupkan syiar-syiar kaum salib; maka di sini kita perlu mengatakan kepada orang-orang yang menilai masalah secara proporsional, logis dan obyektif:
“Apakah benar jika kita menjadikan orang-orang seperti itu sebagai sumber ibadah kita dan syiar agama kita?”
Sementara kita mengatakan:
“Sesungguhnya abad-abad awal yang diutamakan oleh Allah, tempat para panutan kita -salafuna shalih- hidup tidak ada secuilpun bagi adanya ibadah semacam ini, apakah dari ulamanya ataupun dari masyarakat awamnya. Tidakkah cukup bagi kita apa yang dahulu cukup bagi mereka, salafus shalih itu?”
kaligrafi-nabi-muhammad-saw_823642384
Ilustrasi: kajiansunnah.net
Orang yang memperhatikan sejarah Nabi saw, serta sejarah para sahabat dan para tabi’in serta atba’ tabi’in bahkan hingga generasi sesudah tahun 350 H, tidak akan mendapatkan seorangpun dari umat Islam yang mengadakan mauludan atau Perayaan Maulid Nabi, atau memerintahkannya, atau bahkan membicarakannya. Imam al-Hafizh as-Sakhawi al-Syafi’i dalam fatawanya berkata: “Perayaan maulid tidak dinukil dari seorangpun dari salaf shalih di tiga zaman yang utama. Akan tetapi hal itu terjadi setelah itu.” (Mengutip dari Subulul Huda war-Rasyad (1/439), karya al-Shalihi, cetakan Kementrian Waqaf Mesir.)
Jadi pertanyaannya yang sangat mengusik adalah: Sejak kapan Perayaan Maulid ini ada? Apakah diadakan oleh para ulama, atau para raja, atau oleh para khulafa` ahlus sunnah yang dipercaya agamanya? Ataukah dari orang-orang yang menyimpang dan memusuhi sunnah? (Nashir ibn Yahya al-Hanini, dalam al-Maulid an-Nabawi, Tarikhuh, Hukmuh, Atsaruh)
Pertanyaan ini dijawab oleh para ulama Islam, diantaranya oleh Syaikhul Azhar Syaikh Athiyah Shaqr:
“Para sejarawan tidak mengetahui seorangpun yang merayakan Maulid Nabi sebelum Dinasti Fathimiyyah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ustadz Hasan as-Sandubi.
Mereka merayakan Maulid Nabi di Mesir dengan pesta besar. Mereka membuat kue dalam jumlah besar dan membagi-bagikannya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Qalqasandi dalam kitabnya Shubhul A’sya.” Lalu Syaikh Athiyah mejelaskan urutan sejarah maulid sebagai berikut:
Pertama:
Di Mesir. Orang-orang Fathimiyyah merayakan berbagai macam maulid untuk ahlul bait. Yang pertama kali melakukan adalah al-Muiz lidinillah (341-365H) pada tahun 362 H. Mereka juga merayakan Maulid Isa (natalan) sebagaimana dikatakan oleh al-Maqrizi as-Syafi’i dalam kitab as-Suluk Limakrifati Dualil Muluk. Kemudian Maulid Nabi- begitu pula maulid-maulid yang lain- pada tahun 488 H karena khalifah al-Musta’li billah mengangkat al-Afdhal Syahinsyah ibn Amirul Juyusy Badr al-Jamali sebagai mentri. Ia adalah orang kuat yang tidak menentang ahlus sunnah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Atsir dalam kitabnya al-Kamil: 5/302. Hal ini berlangsung hingga kementrian diganti oleh al-Makmun al-Bathaihi, lalu ia mengeluarkan instruksi untuk melepas shadaqat (zakat) pada tanggal 13 Rabiul Awal 517 H, dan pembagiannya dilaksanakan oleh Sanaul Malik. (Mei 1997, Fatawa al-Azhar: 8/255)
Sejarahwan sunni Syaikh al-Maqrizi al-Syafi’i (854 H) dalam kitab al-Khuthath (1/490 dan sesudahnya) berkata:
“Menyebut hari-hari di mana para khalifah Fathimiyyah menjadikannya sebagai hari raya dan musim perayaan, pesta besar bagi rakyat dan banyak kenikmatan di dalamnya untuk mereka.”
Lalu dia mengatakan:
“Adalah para khalifah Fathimiyyah di sepanjang tahun memiliki hari-hari raya dan hari-hari besar, yaitu: Hari Raya Tahun Baru, Hari Raya Asyura`, Hari Raya Maulid Nabi saw, Hari Raya Maulid Ali ibn Abi Thalib ra, Maulid Hasan dan Husain as, Maulid Fathimah as, Maulid Khalih al-Hadir (yang sedang berkuasa), Malam Awal Rajab, Malam Nishfu Sya’ban, Malam Ramadhan, Ghurrah (awal) Ramadhan, Simath (tengah) Ramadhan, Malam Khataman, Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Kurban, Hari Raya Ghadir (Khum), Kiswah as-Syita` (pakaian musim hujan), Kiswah as-Shaif (pakaian musim panas), Hari Besar Pembukaan Teluk, Hari Raya Nairuz (tahun Baru Persia), Hari Raya al-Ghuthas, Hari Raya Kelahiran, Hari Raya Khamis al-Adas (khamis al-ahd, 3 hari sebelum Paskah), dan hari-hari Rukubat.”
Sementara dalam kitab Itti’azhul Khunafa` (2/48) al-Maqrizi berkata: (pada tahun 394 H) “Pada bulan Rabiul Awal manusia dipaksa untuk menyalakan kendil-kendil (lampu) di malam hari di rumah-rumah, jalan-jalan dan gang-gang di Mesir.” Di tempat lain (3/99) ia berkata: (pada tahun 517 H)
”Dan berlakulah aturan untuk merayakan Maulid Nabi yang mulia pada bulan Rabiul Awal seperti biasa.” Untuk keterangan lebih lanjut mengenai apa yang terjadi saat perayaan Maulid Nabi dan besarnya walimah maka silakan merujuk pada al-khuthath; 1/432-433; Syubul A’sya, karya al-Qalqasandi: 3/498-499).
Setelah mengutip kutipan di atas maka Syaikh Nashir ibn Yahya al-Hanini penulis al-Maulid an-Nabawi menyimpulkan: “Dari kutipan di atas, renungkanlah bersama saya. Bagaimana Maulid Nabi dikumpulkan bersama bid’ah-bid’ah besar seperti:
a) Bid’ah Syi’ah dan ghuluw (kultus) terhadap ahlul bait yang tercetus dalam Maulid Ali, Maulid Fathimah, Maulid Hasan dan Husain.
b) Bid’ah hari besar Nairuz, hari raya Ghuthas, dan hari maulid Isa (natal), yang kesemuanya adalah hari raya Kristen. Ibnul Turkmani dalam kitabnya al-Luma’ fil Hawadits wal Bida’ (1/293-316) berkata tentang hari-hari raya milik Nashari tersebut: “Pasal, termasuk bid’ah dan kehinaan adalah apa yang dilakukan oleh kaum muslimin pada Hari Raya Nairuz milik Nasrani dan hari-hari besar mereka, yaitu ikut menambah uang belanja (lebih dari hari biasanya).” Ia berkata,
“Nafkah ini tidak akan diganti (oleh Allah) dan keburukannya akan kembali kepada orang yang mengeluarkannya, cepat atau lambat.”
Lalu dia berkata, “Di antara sedikitnya taufiq dan kebahagiaan adalah apa yang dilakukan oleh orang muslim yang buruk pada hari yang disebut dengan hari Natal (kelahiran/ maulid Isa).”
Kemudian ia mengutip ucapan ulama-lama Madzhab Hanafi bahwa siapa yang melakukan perkara-perkara di atas dan tidak bertaubat maka ia kafir seperti mereka.
Kemudia ia menyebut hari-hari raya Nasrani yang biasa diikuti oleh orang-orang Islam yang jahil. Dia menjelaskan keharamannya berdasarkan al-Quran dan Sunnah melalui kaedah-kaedah syariat. Dengan demikian, maka yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi adalah Banu Ubaid yang dikenal dengan sebutan Fathimiyyiin.
Kedua:
Di Mesir. Ketika datang Dinasti Ayyubiyah (yang dimulai pada saat Shalahuddin al-Ayyubi menggulingkan khalifah Fathimiyyah terakhir al-Adhidh Lidinillah pada tahun 567 H/ 1171 M ) maka dibatalkanlah semua pengaruh kaum Fatimiyyin di seluruh wilayah negara Ayyubiyah, kecuali Raja Muzhaffar yang menikahi saudari Shalahuddin al-Ayyubi ini. Perayaan maulid ini kembali dihidupkan di Mesir pada masa Mamalik, pada tahun 922 H oleh khalifah Qanshuh al-Ghauri. Kemudian, tahun berikutnya 923 H ketika Orang-Orang Turki Usmani memasuki Mesir maka mereka meniadakan maulid ini. Namun setelah itu muncul kembali. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Iyas.
Ketiga:
Irak. Kemudian di awal abad ke-7 H perayaan maulid menjadi acara resmi di kota Arbil, melalui sultan Muzhaffaruddin Abu Said Kukburi ibn Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin. Dia seorang Sunni (bukan Syi’ah seperti bani Ubaid Fatimiyyin). Dia membuat kubah-kubah di awal bulan Shafar, dan menghiasinya dengan seindah mungkin. Di hari itu, dimeriahkan dengan nyanyian, musik dan hiburan qarquz, Gubernur menjadikannya sebagai hari libur nasional, agar mereka bisa menonton berbagai hiburan ini. Kubah-kubah kayu berdiri kokoh dari pintu benteng sampai pintu al-Khanqah. Setiap hari setelah shalat ashar Muzhaffaruddin turun mengunjungi setiap kubah, mendengarkan irama musik dan melihat segala yang ada di sana. Ia membuat perayaan maulid pada satu tahun pada bulan ke delapan, dan pada tahun yang lain pada bulan ke 12. Dua hari sebelum maulid ia mengeluarkan onta, sapi dan kambing. Hewan ternak itu diarak dengan jidor menuju lapangan untuk disembelih sebagai hidangan bagi masyarakat.
Sementara menurut Abu Syamah dalam kitab al-Ba’its ala Inkaril Bida’ wal-Hawadits mengatakan: Orang yang pertama melakukan hal tersebut di Mosul (Mushil) adalah syaikh Umar ibn Muhammad al-Mulla salah seorang shalih yang terkenal, maka penguasa Arbil meniru beliau.” Para sejarawan termasuk Ibnu Katsir dalam Tarikhnya menyebutkan bahwa perayaan maulid yang diadakan oleh Raja Muzhaffar ini dihadiri oleh kaum shufi, melalui acara sama’ (pembacaan qashidah dan nyanyian-nyanyian keagamaan kaum shufi) dari waktu zhuhur hingga fajar, dia sendiri ikut turun menari/ bergoyang (semacam joget-ala shufi). Dihidangkan 5000 kambing guling, 10 ribu ayam dan 100.000 zubdiyyah (semacam keju), dan 30.000 piring kue. Biaya yang dikeluarkan untuk acara ini –tiap tahunnya- sebesar 300.000 Dinar. Syaikh Umar ibn Muhammad al-Mulla yang menjadi panutan sultan Muzhaffar adalah seorang shufi yang setiap tahun mengadakan perayaan maulid dengan mengundang umara, wuzara (para mentri) dan ulama (shufi). Ibnul Hajj Abu Abdillah al-Abdari berkata, “Sesungguhnya perayaan ini tersebar di Mesir pada masanya, dan ia mencela bid’ah-bid’ah yang ada di dalamnya.” (Al-Madkhal: 2/11-12) Pada abad ke 7 kitab-kitab maulid banyak ditulis, seperti kisah ibn Dahiyyah yang meninggal di Mesir w. 633 H, Muhyiddin Ibnul Arabi yang wafat di Damaskus tahun 638 H, ibnu Thugharbek yang wafat di Mesir tahun 670 H, dan Ahmad al-’Azli bersama putranya Muhammad yang wafat tahun 677 H.
Karena banyaknya bid’ah-bid’ah yang menyertai acara maulid maka para ulama mengingkarinya, bahkan mengingkari hukum asal maulid. Di antara mereka adalah al-Fakih al-Maliki Tajuddin Umar ibn Ali al-Lakhami al-Iskandari yang dikenal dengan sebutan al-Fakihani yang wafat tahun 731 H. Dia menuliskannya dalam risalah al-Maurid fil Kalam alal Maulid. Hal ini disebutkan oleh Imam Suyuthi dalam kitabnya Husnul Maqshad.
Kemudian Syaikh Muhammad al-Fadhil ibn Asyur berkata, “Maka datanglah abad ke 9, sementara manusia berselisih antara yang membolehkan dan melarang. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (773-852), as-Suyuti (849-911) dan Ibnu Hajar al-Haitami (909-974) menganggap baik, dengan pengingkaran mereka terhadap bid’ah-bid’ah yang menempel pada acara maulid. Mereka menyandarkan pendapat mereka pada firman Allah yang artinya:
“Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.” (QS. Ibrahim: 5)
Imam Nasai, dan Abdullah ibn Ahmad dalam Zawaid al-Musnad, serta al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari Ubay ibn Ka’b, dari Nabi saw, beliau menafsiri hari-hari Allah dengan nikmat-nikmat Alah dan karunia-Nya.” (Ruhul Ma’ani, karya al-Alusi) Sedangkan kelahiran Nabi saw adalah nikmat Allah yang besar.
Saya katakan:
Betul, mengingatkan nikmat-nikmat Allah termasuk di dalamnya adalah Maulid Nabi saw melalui khutbah, ceramah, kajian, dan tulisan, bukan dengan hari raya dan perayaan atau pesta atau idul milad atau mauludan.
Penutup
Pembaca yang mulia, setelah kita mengetahui asal muasal Maulid Nabi, yaitu berasal dari kaum bathiniyyah (kebatinan) yang memiliki dasar-dasar akidah Majusi dan Yahudi yang menghidupkan syiar-syiar kaum salib; maka di sini kita perlu mengatakan kepada orang-orang yang menilai masalah secara proporsional, logis dan obyektif:
“Apakah benar jika kita menjadikan orang-orang seperti itu sebagai sumber ibadah kita dan syiar agama kita?”
Sementara kita mengatakan sekali lagi:
“Sesungguhnya abad-abad awal yang diutamakan oleh Allah, tempat para panutan kita -salafuna shalih- hidup tidak ada secuilpun bagi adanya ibadah semacam ini, apakah dari ulamanya ataupun dari masyarakat awamnya. Tidakkah cukup bagi kita apa yang dahulu cukup bagi mereka, salafus shalih itu?

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta Alam, sholawat dan salam untuk Nabi dan Rasul yang paling mulia, Nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Sesungguhnya Allah dengan segala kekuasaan-Nya telah mengutus Nabi-Nya Muhammad dan telah memberinya kekhususan dan kemuliaan untuk menyampaikan risalah.
IA telah menjadikannya Rahmat bagi seluruh Alam dan pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa serta menjadikannya orang yang dapat memberi petunjuk ke jalan yang lurus.
Maka seorang hamba harus taat kepadanya, menghormati dan melaksanakan hak-haknya.
Dan di antara hak-haknya adalah Allah mengkhususkan baginya sholawat dan memerintahkan kita untuk itu, di dalam kitab-Nya yang Agung (Al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya yang mulia (Al-Hadits).
Di mana orang yang yang bersholawat untuknya akan memperoleh pahala yang berlipat ganda.
Maka sungguh berbahagia-lah orang yang mendapatkan itu.
Dan karena masalah ini memiliki urgensi yang sangat besar dan pahala yang besar pula, maka kami merasa perlu untuk mengeluarkan tulisan-tulisan sederhana ini, yang di dalamnya terdapat motivasi untuk memperbanyak sholawat dan salam untuk Nabi dan Rasul yang paling mulia ini.
Yaa Allah..! Curahkan-lah Sholawat dan Salam atas Nabi dan Kekasih-Mu Muhammad selama siang dan malam yang silih berganti..
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawat-lah kamu untuk Nabi dan ucapkan-lah salam penghormatan kepada-nya.”
(QS. Al-Ahzab: 56)

KEUTAMAAN SHALAWAT NABI



KEUTAMAAN SHALAWAT NABI

╰☆╮ بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِارَّحْمَنِ ارَّحِيم ╰★╮
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta Alam, sholawat dan salam untuk Nabi dan Rasul yang paling mulia, Nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Sesungguhnya Allah dengan segala kekuasaan-Nya telah mengutus Nabi-Nya Muhammad dan telah memberinya kekhususan dan kemuliaan untuk menyampaikan risalah.
IA telah menjadikannya Rahmat bagi seluruh Alam dan pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa serta menjadikannya orang yang dapat memberi petunjuk ke jalan yang lurus.
Maka seorang hamba harus taat kepadanya, menghormati dan melaksanakan hak-haknya.
Dan di antara hak-haknya adalah Allah mengkhususkan baginya sholawat dan memerintahkan kita untuk itu, di dalam kitab-Nya yang Agung (Al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya yang mulia (Al-Hadits).
Di mana orang yang yang bersholawat untuknya akan memperoleh pahala yang berlipat ganda.
Maka sungguh berbahagia-lah orang yang mendapatkan itu.
Dan karena masalah ini memiliki urgensi yang sangat besar dan pahala yang besar pula, maka kami merasa perlu untuk mengeluarkan tulisan-tulisan sederhana ini, yang di dalamnya terdapat motivasi untuk memperbanyak sholawat dan salam untuk Nabi dan Rasul yang paling mulia ini.
Yaa Allah..! Curahkan-lah Sholawat dan Salam atas Nabi dan Kekasih-Mu Muhammad selama siang dan malam yang silih berganti..
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawat-lah kamu untuk Nabi dan ucapkan-lah salam penghormatan kepada-nya.”
(
QS. Al-Ahzab: 56)
Imam Al-Bukhari meriwayatkan, Abu ‘Aliyah berkata:
Shalawat Allah adalah berupa pujian-Nya untuk nabi di hadapan para malaikat. Adapun shalawat para malaikat adalah do’a (untuk beliau).”
Ibnu Abbas berkata:
Bershalawat artinya mendo’akan supaya diberkati.”
Maksud dari ayat di atas, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya yaitu:
Sesungguhnya Allah Subhannahu Wa Ta’ala menggambarkan kepada segenap hamba-Nya tentang kedudukan seorang hamba-Nya, Nabi dan kekasih-Nya di sisi-Nya di alam arwah, bahwa sesungguhnya DIA memujinya di hadapan para malaikat. Dan sesungguhnya para malaikat bershalawat untuknya. Kemudian Allah memerintahkan kepada penghuni alam dunia agar bershalawat untuknya, sehingga berkumpul-lah pujian baginya dari segenap penghuni alam semesta.”
. Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan kita agar mendo’akan dan bershalawat untuk Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam.
Bukan sebaliknya, memohon kepada beliau, sebagai sesembahan selain Allah.
. Banyak bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan tanda cinta seorang muslim kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(
Lihat kitab: “Mahabbatur Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bainal ittibaa’ walibtidaa’” hal. 77),
Karena para ulama mengatakan:
Barangsiapa yang mencintai sesuatu maka dia akan sering menyebutnya
(
Lihat kitab “Minhaajus sunnatin nabawiyyah” (5/393) dan “Raudhatul muhibbiin” (hal. 264).
. Bacaan shalawat untuk Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam yang paling utama adalah apa yang beliau ajarkan kepada para sahabat, ketika beliau bersabda:
Katakan-lah: Yaa Allah limpahkanlah Rahmat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah melimpahkan Rahmat untuk Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Yaa Allah, limpahkan-lah Berkah untuk Muhammad dan keluarga Muhammad sebagai-mana Engkau telah melimpahkan Berkah untuk Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.”
(
HR Al-Bukhari dan imam Muslim)
. Makna shalawat dari Allah Ta’ala kepada hamba-Nya adalah limpahan Rahmat, pengampunan, pujian, kemualian dan keberkahan dari-Nya.
(
Lihat kitab “Zaadul masiir” (6/398).
Ada juga yang mengartikannya dengan taufik dari Allah Ta’ala untuk mengeluarkan hamba-Nya dari kegelapan (kesesatan) menuju cahaya (petunjuk-Nya), sebagaimana dalam firman-Nya:
{هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا}
Dialah yang bershalawat kepadamu (wahai manusia) dan malaikat-Nya (dengan memohonkan ampunan untuk-mu), supaya DIA mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah DIA Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman
(
QS al-Ahzaab :43).
. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:
Jika kalian mendengar muadzin maka ucapkan-lah seperti apa yang ia ucapkan, kemudian bershalawat-lah untuk-ku. Karena sesungguhnya barangsiapa yang bershalawat untuk-ku satu kali, Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian mohonkan-lah kepada Allah wasilah untuk-ku. Sesungguhnya ia adalah suatu tempat (derajat) di Syurga. Ia tidak pantas kecuali untuk seorang hamba dari hamba-hamba Allah. Aku berharap bahwa hamba itu adalah aku. Barangsiapa memintakan wasilah untuk-ku, maka ia berhak menerima syafa’at-ku.”
(
HR. Imam Muslim)
Do’a yang diajarkan Rasulullah dibaca dengan suara pelan.
Ia dibaca seusai adzan dan setelah membacakan shalawat untuk Nabi.
Do’a yang diajarkan beliau yaitu:
Yaa Allah, Tuhan yang memiliki seruan yang sempurna ini. Dan shalat yang akan didirikan. Berikan-lah untuk Muhammad wasilah (derajat) dan keutamaan. Dan tempatkan-lah ia di tempat terpuji sebagaimana yang telah Engkau janjikan.“
(
HR. Al-Bukhari)
. Membaca shalawat atas Nabi ketika berdo’a, sangat dianjukan.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah :
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam bersabda:
Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berpetualang di bumi, mereka menyampaikan kepada-ku salam dari umat-ku.”
(
HR. Ahmad, hadits shahih)
Bershalawat untuk Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Salam sangat dianjurkan, terutama pada hari Jum’at.
Dan ia termasuk Amalan yang utama untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Bertawassul dengan shalawat ketika berdo’a adalah dianjurkan.
Sebab ia termasuk Amal shalih.
Yaa Allahu yaa Rabbi..
Limpahkan salam serta Rahmat bagi Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga , Nabi Ibrahim beserta keluarga, para Sahabat Nabi serta seluruh kaum muslimin dimana-pun berada.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad , wa’ala ali Muhammad

Top of Form
@















Bottom of Form
Top of Form
@Bottom of Form