➣Keutamaan
Mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah.” (Qs. Al Ahzaab: 21)
Ayat yang mulia ini menunjukkan
kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, karena Allah Ta’ala sendiri yang menamakan semua perbuatan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamsebagai “teladan yang baik”, yang ini
menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus)
yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah Ta’ala. (Lihat keterangan
Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di ketika menafsirkan ayat di atas, hal. 481)
Ketika menafsirkan ayat ini, Imam
Ibnu Katsir berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam
meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan,
perbuatan dan keadaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Ibnu
Katsir, 3/626)
Kemudian firman Allah Ta’ala di
akhir ayat ini mengisyaratkan satu faidah yang penting untuk direnungkan, yaitu
keterikatan antara meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan kesempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir, yang ini berarti bahwa
semangat dan kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pertanda kesempurnaan imannya.
Syaikh Abdurrahman As Sa’di ketika
menjelaskan makna ayat di atas, beliau berkata, “Teladan yang baik (pada diri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ini, yang akan mendapatkan taufik
(dari Allah Ta’ala) untuk mengikutinya hanyalah orang-orang yang mengharapkan
(rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan)
iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan
akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi seseorang untuk meneladani (sunnah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Penutup
Dari keterangan di atas, jelaslah
bagi kita makna mencintai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
sebenarnya, dan jelaslah besarnya keutamaan dan kemuliaan mengikuti sunnah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka mestinya, seorang muslim yang
mengaku mencintai Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi yang
mengaku sebagai ahlus sunnah wal jama’ah, adalah orang yang paling semangat
dalam mempelajari dan menerapkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam sikap dan tingkah lakunya. Khususnya, di zaman sekarang ketika
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi asing dan jarang
diamalkan di tengah-tengah kaum muslimin sendiri. Karena seorang muslim yang
mengamalkan satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah
dilupakan, dia akan mendapatkan dua keutamaan (pahala) sekaligus, yaitu
keutamaan mengamalkan sunnah itu sendiri dan keutamaan menghidupkannya di
tengah-tengah manusia yang telah melupakannya.
Syaikh Muhammad bih Sholeh Al
‘Utsaimin berkata, “Sesungguhnya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallamjika semakin dilupakan, maka (keutamaan) mengamalkannya pun semakan kuat
(besar), karena (orang yang mengamalkannya) akan mendapatkan keutamaan
mengamalkan (sunnah itu sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan (menghidupkan)
sunnah di kalangan manusia.” (Manaasikul Hajji wal ‘Umrah, hal. 92)
Sebagai penutup, marilah kita camkan
bersama nasehat imam Al Khatiib Al Baghdadi dalam kitab beliau Al Jaami’ li
Akhlaaqir Raawi wa Aadaabis Saami’ (1/215) berikut ini:
“Seyogyanya para penuntut ilmu
hadits (pengikut manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah), berusaha untuk membedakan
dirinya dari kebiasaan orang-orang awam dalam semua urusan tingkah laku dan
sikapnya, dengan berusaha mengamalkan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam semaksimal mungkin, dan membiasakan dirinya mengamalkan sunnah-sunnah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sesungguhnya Allah Ta’ala
berfirman,
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (Qs. Al Ahzaab: 21)”
وصلى
الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب
العالمين
Mencintai dan Mengagungkan Sunnah
Rasulullah
╰☆╮
بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِارَّحْمَنِ ارَّحِيم ╰★╮
-Assalamu’alaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh-
Sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, yang berarti segala sesuatu yang bersumber dari
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, baik ucapan, perbuatan maupun
penetapan beliau, memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, karena
Allah Ta’ala menjadikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
penjelas dan penjabar dari Al Qur’an yang mulia, yang merupakan sumber utama
syariat Islam. Oleh karena itu, tanpa memahami sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan baik, seseorang tidak mungkin dapat menjalankan agama
Islam dengan benar.
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan kepadamu
al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka (dari Allah Ta’ala), supaya mereka memikirkan.” (Qs. An Nahl: 44)
Ketika Ummul mu’minin ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha ditanya tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau menjawab, “Sungguh akhlak Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah Al Qur’an.” (HSR Muslim no. 746). Ini berarti
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling sempurna
dalam memahami dan mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan
menghiasi diri dengan adab-adabnya. (Lihat keterangan imam an-Nawawi dalam
kitab Syarh Shahih Muslim 6/26). Maka orang yang paling sempurna dalam memahami
dan mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dialah yang
paling sempurna dalam berpegang teguh dan mengamalkan Al Qur’an dan agama Islam
secara keseluruhan.
Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah
Ta’ala merahmatinya– berkata, “(Termasuk) landasan (utama) sunnah (syariat
Islam) menurut (pandangan) kami (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) adalah: bahwa sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penafsir dan argumentasi (yang
menjelaskan makna) al-Qur’an.” (Ushuulus Sunnah, hal. 3)
Oleh karena itulah, para ulama Ahlus
Sunnah wal Jama’ah mendefinisikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai sesuatu yang mencakup syariat Islam secara keseluruhan, baik
ucapan, perbuatan maupun keyakinan. (Lihat Jaami’ul Uluumi wal Hikam, hal. 321)
Imam Abu Muhammad al-Barbahari
berkata, “Ketahuilah, bahwa Islam itu adalah sunnah dan sunnah itu dialah
Islam, yang masing-masing dari keduanya tidak akan tegak tanpa ada yang
lainnya.” (Syarhus Sunnah, hal. 59)
➣Arti
Mencintai dan Mengagungkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
Sebenarnya
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
قُلْ
إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu
dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali
‘Imran: 31)
Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan
ayat ini berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi
setiap orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti
jalan (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah orang
yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau
mengikuti syariat dan agama (yang dibawa oleh) Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaannya.” (Tafsir Ibnu
Katsir, 1/477)
Imam Al Qadhi ‘Iyadh Al Yahshubi
berkata, “Ketahuilah bahwa barangsiapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan
mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian, maka berarti
dia tidak dianggap benar dalam kecintaanya dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti
nyata). Maka orang yang benar dalam (pengakuan) mencintai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jika terlihat tanda (bukti) kecintaan
tersebut pada dirinya. Tanda (bukti) cinta kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang utama adalah (dengan) meneladani beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam, mengamalkan sunnahnya, mengikuti semua ucapan dan perbuatannya,
melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri
dengan adab-adab (etika) yang beliau (contohkan), dalam keadaan susah maupun
senang dan lapang maupun sempit.” (Asy Syifa bi Ta’riifi Huquuqil Mushthafa,
2/24)
Berdasarkan keterangan di atas,
jelaslah bahwa mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang sebenarnya adalah dengan meneladani petunjuk dan sunnah beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan berusaha mempelajari dan mengamalkannya
dengan baik. Dan bukanlah mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah
(yaitu setiap perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri
kepada Allah, yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, pen) dengan mengatasnamakan cinta kepada beliau, atau memuji dan
mensifati beliau secara berlebihan, dengan menempatkan beliau melebihi
kedudukan yang telah Allah Ta’ala tempatkan beliau padanya. (Mahabbatur Rasul
bainal Ittibaa’ wal Ibtidaa’, hal. 65-71)
Dalam sebuah hadits shahih
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian memuji
diriku secara berlebihan dan melampaui batas, sebagaimana orang-orang Nashrani
melampaui batas dalam memuji (Nabi Isa) bin Maryam, karena sesungguhnya aku
hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah: hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HSR
Al Bukhari no. 3261)
Inilah makna cinta kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dipahami dan diamalkan oleh generasi terbaik
umat ini, para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Tidak ada seorang pun yang paling dicintai oleh para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Akan tetapi jika mereka melihat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
mereka tidak berdiri (untuk menghormati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam),
karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
membenci perbuatan tersebut.” (HR At Tirmidzi 5/90 dan Ahmad 3/132, dinyatakan
shahih oleh At Tirmidzi dan Syaikh Al Albani)
➣Bagaimana
Menyempurnakan Cinta kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam
Diri Kita?
Imam Ibnu Rajab Al Hambali membagi
derajat (tingakatan) cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallammenjadi dua tingakatan, yang berarti dengan menyempurnakan dua tingkatan
ini seorang akan memiliki kecintaan yang sempurna kepada sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ini merupakan tanda kesempurnaan iman dalam
dirinya.
Dua tingkatan tersebut adalah:
Tingkatan yang fardhu (wajib), yaitu
kecintaan (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang mengandung
konsekuensi menerima dan mengambil semua petunjuk yang dibawa oleh beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sisi Allah dengan (penuh rasa) cinta, ridha,
hormat dan patuh, serta tidak mencari petunjuk dari selain jalan (sunnah)
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam secara utuh. Kemudian mengikuti dengan
baik agama yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan dari Allah,
dengan membenarkan semua berita yang beliau sampaikan, mantaati semua kewajiban
yang beliau perintahkan, meninggalkan semua perbuatan haram yang dilarangnya,
serta menolong dan berjihad (membela) agamanya, sesuai dengan kemampuan unutk
(mengahadapi) orang-orang yang menentangnya. Tingkatan ini harus dipenuhi (oleh
setiap muslim) dan tanpanya keimanan (seseorang) tidak akan sempurna.
Tingkatan fadhl (keutamaan/kemuliaan), yaitu kecintaan (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang mengandung konsekuensi meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, mengikuti sunnah beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar, dalam tingkah laku, adab (etika), ibadah-ibadah sunnah (anjuran), makan, minum, pakaian, pergaulan yang baik dengan keluarga, serta semua adab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sempurna dan akhlak beliau yang suci. Demikian juga memberikan perhatian (besar) untuk memahami sejarah dan perjalanan hidup beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, rasa senang dalam hati dengan mencintai, mengagungkan dan memuliakan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, senang mendengarkan ucapan (hadits) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan selalu (mendahulukan) ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas ucapan selain beliau. Dan termasuk yang paling utama dalam tingkatan ini adalah meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sikap zuhud terhadap dunia, mencukupkan diri dengan hidup seadanya (sederhana) di dunia, dan kecintaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada (balasan yang sempurna) di akhirat (kelak)” (Istinyaaqu Nasiimil Unsi min Nafahaati Riyaadhil Qudsi, hal. 34-35)
Tingkatan fadhl (keutamaan/kemuliaan), yaitu kecintaan (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang mengandung konsekuensi meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, mengikuti sunnah beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar, dalam tingkah laku, adab (etika), ibadah-ibadah sunnah (anjuran), makan, minum, pakaian, pergaulan yang baik dengan keluarga, serta semua adab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sempurna dan akhlak beliau yang suci. Demikian juga memberikan perhatian (besar) untuk memahami sejarah dan perjalanan hidup beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, rasa senang dalam hati dengan mencintai, mengagungkan dan memuliakan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, senang mendengarkan ucapan (hadits) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan selalu (mendahulukan) ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas ucapan selain beliau. Dan termasuk yang paling utama dalam tingkatan ini adalah meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sikap zuhud terhadap dunia, mencukupkan diri dengan hidup seadanya (sederhana) di dunia, dan kecintaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada (balasan yang sempurna) di akhirat (kelak)” (Istinyaaqu Nasiimil Unsi min Nafahaati Riyaadhil Qudsi, hal. 34-35)
➣Keutamaan
Mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah.” (Qs. Al Ahzaab: 21)
Ayat yang mulia ini menunjukkan
kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, karena Allah Ta’ala sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallamsebagai “teladan yang baik”, yang ini menunjukkan
bahwa orang yang meneladani sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti
dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan
membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah Ta’ala. (Lihat keterangan
Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di ketika menafsirkan ayat di atas, hal. 481)
Ketika menafsirkan ayat ini, Imam
Ibnu Katsir berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam
meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan,
perbuatan dan keadaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Ibnu
Katsir, 3/626)
Kemudian firman Allah Ta’ala di akhir
ayat ini mengisyaratkan satu faidah yang penting untuk direnungkan, yaitu
keterikatan antara meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan kesempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir, yang ini berarti bahwa
semangat dan kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pertanda kesempurnaan imannya.
Syaikh Abdurrahman As Sa’di ketika
menjelaskan makna ayat di atas, beliau berkata, “Teladan yang baik (pada diri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ini, yang akan mendapatkan taufik
(dari Allah Ta’ala) untuk mengikutinya hanyalah orang-orang yang mengharapkan
(rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan)
iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan
akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi seseorang untuk meneladani (sunnah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Penutup
Dari keterangan di atas, jelaslah
bagi kita makna mencintai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
sebenarnya, dan jelaslah besarnya keutamaan dan kemuliaan mengikuti sunnah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka mestinya, seorang muslim yang
mengaku mencintai Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi yang
mengaku sebagai ahlus sunnah wal jama’ah, adalah orang yang paling semangat
dalam mempelajari dan menerapkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam sikap dan tingkah lakunya. Khususnya, di zaman sekarang ketika
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi asing dan jarang
diamalkan di tengah-tengah kaum muslimin sendiri. Karena seorang muslim yang
mengamalkan satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah
dilupakan, dia akan mendapatkan dua keutamaan (pahala) sekaligus, yaitu keutamaan
mengamalkan sunnah itu sendiri dan keutamaan menghidupkannya di tengah-tengah
manusia yang telah melupakannya.
Syaikh Muhammad bih Sholeh Al
‘Utsaimin berkata, “Sesungguhnya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallamjika semakin dilupakan, maka (keutamaan) mengamalkannya pun semakan kuat
(besar), karena (orang yang mengamalkannya) akan mendapatkan keutamaan
mengamalkan (sunnah itu sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan (menghidupkan)
sunnah di kalangan manusia.” (Manaasikul Hajji wal ‘Umrah, hal. 92)
Sebagai penutup, marilah kita camkan
bersama nasehat imam Al Khatiib Al Baghdadi dalam kitab beliau Al Jaami’ li
Akhlaaqir Raawi wa Aadaabis Saami’ (1/215) berikut ini:
“Seyogyanya para penuntut ilmu
hadits (pengikut manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah), berusaha untuk membedakan
dirinya dari kebiasaan orang-orang awam dalam semua urusan tingkah laku dan
sikapnya, dengan berusaha mengamalkan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam semaksimal mungkin, dan membiasakan dirinya mengamalkan sunnah-sunnah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sesungguhnya Allah Ta’ala
berfirman,
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (Qs. Al Ahzaab: 21)”
وصلى
الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب
العالمين
Mengangkat Tangan Ketika Berdoa
╰☆╮
بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِارَّحْمَنِ ارَّحِيم ╰★╮
-Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh-
Kutipan Islam -Mengangkat tangan ketika sedang berdoa adalah hal yang disyariatkan dalam Islam.
Perbuatan ini merupakan salah satu adab dalam berdoa dan juga nilai tambah yang mendukung
terkabulnya doa. Mari kita bahas secara rinci bagaimana hukum dan tata caranya.
Hukum Asal Mengangkat Tangan Ketika Berdoa
Tidak kami ketahui adanya perbedaan diantara para ulama bahwa pada asalnya mengangkat tangan
ketika berdoa hukumnya sunnah dan merupakan adab dalam berdoa. Dalil-dalil mengenai hal ini
banyak sekali hingga mencapai tingkatan mutawatir ma’nawi. Diantaranya hadist Abu Hurairah, bahwa
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا،
وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ:
{يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا، إِنِّي
بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ} وَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ
طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ
أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ
حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ،
فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik dan
tidak menerima
kecuali yang baik. Sesungguhnya apa yang Allah perintahkan kepada orang mukmin itu sama sebagaimana yang
diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para Rasul, makanlah makanan yang baik dan kerjakanlah amalan
shalih’ (QS. Al Mu’min: 51). Alla Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman,
makanlah makanan yang baik yang telah Kami berikan kepadamu’ (QS. Al Baqarah: 172). Lalu Nabi menyebutkan cerita seorang
lelaki yang telah menempuh perjalanan
panjang, hingga sehingga rambutnya kusut dan berdebu. Ia
menengadahkan tangannya
ke langit dan berkata: ‘Wahai Rabb-ku.. Wahai Rabb-ku..’ padahal makanannya
haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dari yang haram. Bagaimana mungkin
doanya dikabulkan?” (HR. Muslim)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ
إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ
“Sesungguhnya Allah itu sangat pemalu dan Maha
Pemurah. Ia malu jika seorang lelaki mengangkat kedua tangannya untuk berdoa kepada-Nya, lalu Ia mengembalikannya dalam
keadaan kosong dan hampa” (HR. Abu Daud 1488, At Tirmidzi 3556, di
shahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jaami’ 2070)
As Shan’ani menjelaskan: “Hadits ini menunjukkan dianjurkannya mengangkat kedua tangan ketika
berdoa. Hadits-hadits mengenai hal ini banyak” (Subulus Salam, 2/708)
Demikianlah hukum asalnya. Jika kita memiliki keinginan atau hajat lalu kita berdoa kepada Allah Ta’ala, kapan
pun dimanapun, tanpa terikat dengan waktu, tempat atau ibadah
tertentu, kita dianjurkan untuk mengangkat kedua tangan ketika berdoa.
Hukum Mengangkat Tangan Ketika Berdoa Dalam Suatu Ibadah
Banyak hadits-hadits yang menyebutkan praktek mengangkat tangan dalam
berdoa dalam beberapa ritual ibadah, diantaranya:
1. Ketika berdoa istisqa dalam khutbah
Sahabat Anas bin Malik Radhiallahu’anhu berkata:
كان النبي صلى الله عليه وسلم لا يرفع يديه في شيء من دعائه إلا في
الاستسقاء ، وإنه يرفع حتى يرى بياض إبطيه
“Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
tidak mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, kecuali ketika istisqa. Beliau mengangkat
kedua tangannya
hingga terlihat ketiaknya yang putih” (HR. Bukhari no.1031, Muslim no.895)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “maksudnya, dalam
kondisi khutbah Nabi tidak pernah mengangkat kedua tangannya kecuali (jika dalam khutbah tersebut)
beliau berdoa memohon hujan (istisqa)” (Syarhul Mumthi’, 5/215). Menunjukkan bahwa ini dilakukan ketika istisqa
baik dalam khutbah istisqa, ataupun dalam khutbah yang lainnya.
2. Ketika berdoa qunut dalam shalat
Sebagaimana diriwayatkan oleh Anas bin Malik Radhiallahu’anhu:
فَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كُلَّمَا صَلَّى الْغَدَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ فَدَعَا عَلَيْهِمْ
“Aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam setiap shalat shubuh beliau mengangkat kedua tangannya dan mendoakan keburukan bagi mereka” (HR. Ahmad 12402,
dishahihkan oleh An Nawawi dalam Al Majmu 3/500)
Juga banyak diriwayatkan tentang hal ini dari perbuatan para sahabat Nabi,
diantaranya Umar bin Khattab, diceritakan oleh Abu Raafi’ :
صليت خلف عمر بن الخطاب رضي الله عنه فقنت بعد الركوع ورفع يديه وجهر
بالدعاء
“Aku shalat di belakang Umar bin Khattab
Radhiallahu’anhu, beliau membaca doa qunut setelah ruku’ sambil mengangkat kedua tangannya dan mengeraskan bacaannya” (HR.
Al Baihaqi 2/212, dengan sanad yang shahih)
3. Ketika melempar jumrah
Berdasarkan hadits:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا
رَمَى الجَمْرَةَ الَّتِي تَلِي مَسْجِدَ مِنًى يَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ،
يُكَبِّرُ كُلَّمَا رَمَى بِحَصَاةٍ، ثُمَّ تَقَدَّمَ أَمَامَهَا، فَوَقَفَ
مُسْتَقْبِلَ القِبْلَةِ، رَافِعًا يَدَيْهِ يَدْعُو، وَكَانَ يُطِيلُ الوُقُوفَ،
ثُمَّ يَأْتِي الجَمْرَةَ الثَّانِيَةَ، فَيَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ،
يُكَبِّرُ كُلَّمَا رَمَى بِحَصَاةٍ، ثُمَّ يَنْحَدِرُ ذَاتَ اليَسَارِ، مِمَّا
يَلِي الوَادِيَ، فَيَقِفُ مُسْتَقْبِلَ القِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ يَدْعُو،
ثُمَّ يَأْتِي الجَمْرَةَ الَّتِي عِنْدَ العَقَبَةِ، فَيَرْمِيهَا بِسَبْعِ
حَصَيَاتٍ، يُكَبِّرُ عِنْدَ كُلِّ حَصَاةٍ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ وَلاَ يَقِفُ
عِنْدَهَا
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya ketika
melempar jumrah yang berdekatan dengan masjid Mina, beliau melemparnya dengan tujuh batu kecil. Beliau bertakbir pada
setiap lemparan lalu berdiri di depannya menghadap kiblat, berdoa sambil mengangkat kedua
tanganya. Berdiri di situ lama sekali. Kemudian mendatangi jumrah yang kedua, lalu melamparnya dengan tujuh
batu kecil. Beliau bertakbir setiap lemparan, lalu menepi ke sisi kiri
Al Wadi. Beliau berdiri mengahadap kiblat, berdoa sambil mengangkat
kedua tangannya. Kemudian beliau mendatangi Jumrah Aqabah, beliau melemparnya dengan tujuh
batu kecil. Beliau bertakbir setiap lemparan, lalu pergi dan tidak berhenti di situ” (HR Bukhari 1753)
4. Ketika wukuf di Arafah
Diceritakan oleh Usamah bin Zaid Radhiallahu’anhu:
كُنْتُ رِدْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَاتٍ
«فَرَفَعَ يَدَيْهِ يَدْعُو
“Aku pernah dibonceng oleh Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam di
Arafah. Di sana beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdoa”
(HR. An Nasa’i
3993, Ibnu Khuzaimah 2824, di shahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa’i)
Dan masih banyak dalil yang lain.
Adapun mengangkat
tangan ketika berdoa yang terkait suatu ritual ibadah, hukumnya kembali pada
dalil-dalil ibadah tersebut. Jika terdapat dalil bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
bahwa mengangkat tangan dalam ibadah tersebut, maka dianjurkan mengangkat tangan. Jika tidak
ada dalil, maka
tidak disyari’atkan mengangkat tangan.
Syaikh Abdul
‘Aziz bin Baaz berkata: “Banyak hadits shahih yang
menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengangkat tangan ketika berdoa istisqa, ketika melempar
jumrah yang pertama dan kedua, ketika di awal-awal hari tasyriq, ketika haji wada, dan
pada tempat-tempat yang lain. Namun setiap ibadah yang dilakukan di masa Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam, jika ketika melakukannya beliau tidak mengangkat kedua tangannya, berarti hal
tersebut tidak disyariatkan kepada kita ketika melakukan ibadah tersebut. Ini dalam rangka
meneladani Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam. Contohnya ketika khutbah jum’at, khutbah Ied, doa di antara dua sujud dalam shalat,
doa-doa dzikir setelah shalat wajib, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut. Yang disyariatkan kepada kita
adalah meneladani Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam melakukan suatu atau meninggalkan
suatu (dalam ibadah)”
(Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz, 26/144).
Karena dengan mengangkat
tangan ketika berdoa yang ada dalam suatu ibadah, tanpa adanya
dalil bahwa Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam ini berarti menambah tata cara ibadah tersebut. Contohnya, jika kita mengangkat
tangan ketika membaca doa istiftah dalam shalat (yang dibaca sebelum Al Fatihah), padahal
Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam tidak mencontohkan demikian, maka kita menambah 1 tata cara dalam shalat.
Tata Cara Mengangkat Tangan Dalam Berdoa
Banyak sekali tata cara mengangkat tangan dalam berdoa yang ada dalam riwayat-riwayat dari Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat. Para ulama pun
berselisih pendapat dalam sebagian tata cara tersebut namun khilaf ini merupakan khilaf tanawwu’
(variasi), dibolehkan mengambil mana saja dari variasi yang ada. Namun mengingkat banyak sekali praktek mengangkat
tangan dalam berdoa yang beredar di
masyarakat, hendaknya kita mencukupkan diri pada praktek-praktek mengangkat tangan yang
dijelaskan oleh para ulama dan tidak mengikuti cara-cara yang tidak diketahui asalnya.
Jika kita kelompokkan, praktek-praktek mengangkat tangan dalam
berdoa bisa dibagi menjadi tiga. Sebagaimana pembagian dari sahabat Ibnu
‘Abbas Radhiallahu’anhuma :
المسألة أن ترفع يديك حذو منكبيك أو نحوهما والاستغفار أن تشير بأصبع
واحدة والابتهال أن تمد يديك جميعا
“Al Mas’alah adalah dengan mengangkat kedua
tanganmu sebatas pundak atau sekitar itu. Al Istighfar adalah dengan satu jari yang menunjuk.
Al Ibtihal
adalah dengan menengadahkan kedua tanganmu bersamaan” (HR. Abu Daud 1489, dishahihkan oleh
Al Albani dalam Shahih Al Jami’ 6694)
Jenis pertama: Al Mas’alah. Merupakan jenis yang umumnya dilakukan dalam berdoa. Bentuk ini juga
yang digunakan ketika membaca doa qunut, istisqa dan pada
beberapa rangkaian ibadah haji. Yaitu dengan membuka kedua telapak tangan dan mengangkatnya sebatas
pundak, sebagaimana digambarkan oleh Ibnu ‘Abbas. Juga berdasarkan hadits:
إِذَا سَأَلْتُمُ اَللَّهَ فَاسْأَلُوهُ بِبُطُونِ أَكُفِّكُمْ وَلاَ
تَسْأَلُوهُ بِظُهُورِهَا
“Jika engkau meminta kepada Allah, mintalah
dengan telapak tanganmu, jangan dengan punggung tanganmu” (HR. Abu
Daud 1486, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 595)
Namun para ulama berbeda pendapat mengenai detail bentuknya:
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa kedua telapak tangan dibuka namun kedua tidak saling menempel,
melainkan ada celah diantara keduanya. (Lihat Al Mausu’ah Al
Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 45/266)
Ulama Syafi’iyyah mengatakan telapak tangan mengarah ke langit dan punggung tangan ke arah bumi, boleh ditempelkan ataupun tidak. Ini dilakukan dalam doa untuk mengharapkan terkabulnya sesuatu. Sedangkan untuk mengharapkan hilangnya bala, punggung tangan yang menghadap ke langit, telapak tangan mengarah ke bumi (yaitu Al Ibtihal). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 45/266)
Sedangkan Hanabilah berpendapat kedua tangan ditempelkan berdasarkan hadits:
كَانَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم إِذا دَعَا ضم كفيه وَجعل بطونهما مِمَّا يَلِي وَجهه
Ulama Syafi’iyyah mengatakan telapak tangan mengarah ke langit dan punggung tangan ke arah bumi, boleh ditempelkan ataupun tidak. Ini dilakukan dalam doa untuk mengharapkan terkabulnya sesuatu. Sedangkan untuk mengharapkan hilangnya bala, punggung tangan yang menghadap ke langit, telapak tangan mengarah ke bumi (yaitu Al Ibtihal). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 45/266)
Sedangkan Hanabilah berpendapat kedua tangan ditempelkan berdasarkan hadits:
كَانَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم إِذا دَعَا ضم كفيه وَجعل بطونهما مِمَّا يَلِي وَجهه
“Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
ketika berdoa beliau menempelkan kedua telapak tangannya dan melihat pada kedua telapak tangannya” (HR. Ath Thabrani
5226, sanad hadits ini dhaif sebagaimana dikatakan oleh Al ‘Iraqi dalam Takhrijul Ihya
1/326). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 45/266)
Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh menjelaskan lebih detil jenis ini: “Mengangkat kedua tangannya dengan telapak tangan
terbuka di depan dada, tepatnya di pertengahan dada. Umumnya bentuk ini yang digunakan oleh Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam dalam berdoa. Namun terkadang beliau beliau berdoa di Arafah dengan cara begini:
mengangkat kedua tangannya tepatnya dipertengahan dada lalu menengadahkannya sebagaimana orang yang
meminta makanan, tidak meletakannya dekat wajah namun juga tidak jauh dari wajah dan masih dikatakan ada di pertengahan
dada. Juga dengan membuka kedua telapaknya bagaikan orang miskin yang meminta makanan”
(Syarh Arba’in An Nawawiyyah, 1/112)
Syaikh Bakr Abu Zaid menjelaskan cara lain: “Boleh juga seseorang menutup wajahnya dengan telapak tangannya dan kedua punggung tangannya menghadap kiblat” (Tas-hih Ad Du’a, 1/117)
Jenis kedua: Al Istighfar. Yaitu dengan mengangkat tangan kanan dan jari telunjuk menunjuk ke atas. Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh mengatakan: “Cara ini khusus bagi khatib yang berdiri. Jika ia berdoa, cukup jari telunjuknya menunjuk ke atas. Ini simbol dari doa dan tauhidnya. Tidak disyariatkan bagi khatib mengangkat kedua tangannya (ketika berdoa) jika ia berkhutbah sambil berdiri di atas mimbar atau di atas benda lainnya, kecuali jika sedang berdoa istisqa (maka boleh mengangkat kedua tangan)” (Syarh Arba’in An Nawawiyyah, 1/112). Termasuk dalam jenis ini, khatib jum’at yang membaca doa, yang sesuai sunnah adalah dengan mengacungkan telunjuknya ke langit ketika sedang berdoa.
Syaikh Bakr Abu Zaid menjelaskan cara lain: “Boleh juga seseorang menutup wajahnya dengan telapak tangannya dan kedua punggung tangannya menghadap kiblat” (Tas-hih Ad Du’a, 1/117)
Jenis kedua: Al Istighfar. Yaitu dengan mengangkat tangan kanan dan jari telunjuk menunjuk ke atas. Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh mengatakan: “Cara ini khusus bagi khatib yang berdiri. Jika ia berdoa, cukup jari telunjuknya menunjuk ke atas. Ini simbol dari doa dan tauhidnya. Tidak disyariatkan bagi khatib mengangkat kedua tangannya (ketika berdoa) jika ia berkhutbah sambil berdiri di atas mimbar atau di atas benda lainnya, kecuali jika sedang berdoa istisqa (maka boleh mengangkat kedua tangan)” (Syarh Arba’in An Nawawiyyah, 1/112). Termasuk dalam jenis ini, khatib jum’at yang membaca doa, yang sesuai sunnah adalah dengan mengacungkan telunjuknya ke langit ketika sedang berdoa.
Dalil dari jenis ini diantaranya hadits:
عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ، قَالَ: رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ
عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ، فَقَالَ: «قَبَّحَ اللهُ هَاتَيْنِ
الْيَدَيْنِ، لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا
يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا، وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ
الْمُسَبِّحَةِ»
“Dari ‘Umarah bin Ru’aybah, ia berkata bahwa ia melihat
Bisyr bin Marwan mengangkat kedua tangannya (ketika menjadi khatib)
di atas mimbar. ‘Umarah lalu berkata kepadanya: ‘Semoga Allah
memburukkan kedua tanganmu ini, karena aku telah melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika
menjadi khatib tidak menambah lebih dari yang seperti ini: (Umarah lalu mengacungkan jari telunjuknya)‘” (HR. Muslim,
847)
Jenis ketiga: Al Ibtihal. Yaitu dengan bersungguh-sungguh mengangkat kedua tangan
ke atas dengan sangat tinggi hingga terlihat warna ketiak. Boleh juga hingga punggung tangan menghadap ke langit dan
telapaknya menghadap ke bumi. Jenis ini dilakukan ketika keadaan benar-benar sulit,
mendapat musibah yang sangat berat, sedang sangat-sangat mengharapkan sesuatu, atau berdoa dalam keadaan sangat berduka, atau
ketika istisqa (memohon hujan). Diantara dalil dari jenis ini adalah hadits Anas bin Malik
Radhiallahu’anhu
:
كان النبي صلى الله عليه وسلم لا يرفع يديه في شيء من دعائه إلا في
الاستسقاء ، وإنه يرفع حتى يرى بياض إبطيه
“Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
tidak mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, kecuali ketika istisqa. Beliau mengangkat
kedua tangannya
hingga terlihat ketiaknya yang putih” (HR. Bukhari no.1031, Muslim no.895)
Juga dalam hadits lain dari Anas bin Maalik Radhiallahu’anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَسْقَى،
فَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إِلَى السَّمَاءِ
“Pernah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
ber-istisqa (meminta hujan), beliau mengarahkan punggung tangannya ke
langit” (HR. Muslim 895)
Semoga bermanfaat.!
☆ بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِارَّحْمَنِ ارَّحِيم ★
Sebagian manusia terlalu sombong, tidak mau berdoa, seakan ia bisa menghasilkan sesuatu tanpa pertolongan dari Allah Ta’ala.
Sebagian manusia terlalu sombong, tidak mau berdoa, seakan ia bisa beribadah tanpa pertolongan dari Allah Ta’ala.
Sebagian manusia terlalu sombong, jarang berdoa, seakan kekuatan manusiawinya lah yang dapat mewujudkan seluruh asa dia tanpa pertolongan dari Allah Ta’ala.
Coba perhatikan hal-hal berikut, niscaya kita akan semangat selalu berdoa kepada Allah Ta’ala atas keperluan dunia dan akhirat kita.
➣Seorang yang tidak berdoa adalah orang sombong
{وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ} [غافر: 60]
“Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al Mukmin: 60).
Asy Syaukani rahimahullah berkata, “Ayat ini memberikan faedah bahwa doa adalah ibadah dan bahwa menginggalkan berdoa kepada Rabb yang Maha Suci adalah sebuah kesombongan, dan tidak ada kesombongan yang lebih buruk daripada kesombongan seperti ini, bagaimana seorang hamba berlaku sombong tidak berdoa kepada Dzat yang merupakan Penciptanya, Pemberi rezeki kepadanya, Yang mengadakannya dari tidak ada dan pencipta alam semesta seluruhnya, pemberi rezekinya, Yang Menghidupkan, Mematikan, Yang Memberikan ganjarannya dan yang memberikan sangsinya, maka tidak diragukan bahwa kesombongan ini adalah bagian dari kegilaan dan kekufuran terhadap nikmat Allah Ta’ala. (Lihat kitab Tuhfat Adz Dzakirin, karya Asy Syaukani).
➣Seorang yang berdoa adalah orang yang paling dimuliakan oleh Allah ta’ala
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لَيْسَ شَىْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى مِنَ الدُّعَاءِ»
“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada sesuatu yang paling mulia di sisi Allah dibandingkan doa.” (HR. At Tirmidzi).
Para ulama mengatakan kenapa doa sesuatu yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala dibandingkan yang lainnya: “Karena di dalam doa terdapat bentuk sikap perendahan diri seorang hamba kepada Allah dan menunjukkan kuasanya Allah Ta’ala.”
Allah Ta’ala sangat, sangat, sangat menyukai hamba-Nya merendah diri kepada-Nya dan menunjukkan bahwa hanya Allah Ta’ala satu-satu-Nya Yang Berkuasa, Yang Maha Pengatur, yang Maha Pencipta, tiada sekutu bagi-Nya.
➣Dengan doa kita melawan, menahan, meringankan bala dan musibah
عن عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا يغني حذر من قدر و الدعاء ينفع مما نزل ومما لم ينزل وإن البلاء لينزل فيتلقاه الدعاء فيعتلجان إلى يوم القيامة.
“Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ”Sikap kehati-hatian tidak menahan dari takdir, dan doa bermanfaat dari apa yang terjadi (turun) ataupun yang belum terjadi (turun) dan sesungguhnya bala benar-benar akan turun lalu dihadang oleh doa, mereka berdua saling dorong mendorong sampai hari kiamat.” (HR. Al Hakim dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 7739).
➣Seorang yang berdoa tidak pernah rugi
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ «اللَّهُ أَكْثَرُ»
“Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Tidak ada seorangpun yang berdoa dengan sebuah dosa yang tidak ada dosa di dalamnya dan memuutuskan silaturrahim, melainkan Allah akan mengabulkan salah satu dari tiga perkara, baik dengan disegerakan baginya (pengabulan doanya) di dunia atau dengan disimpan baginya (pengabulan doanya) di akhirat atau dengan dijauhkan dari keburukan semisalnya”, para shahabat berkata: “Wahai Rasulullah, kalau begitu kami akan memperbanyak doa?” Beliau menjawab: “Allah lebih banyak (pengabulan doanya)” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib, no. 1633).
➣Ibnul Qayyim rahimahullah menjelasakan tentang ajaibnya doa
“Dan demikian pula doa, sesungguhnya ia adalah salah satu sebab yang paling kuat menahan keburukan, mewujudkan permintaan, akan tetapi berbeda pengaruh doanya, baik karena lemahnya pada doa tersebut yaitu doanya merupakan sesuatu yang tidak dicintai Allah karena di dalamnya terdapat permusuhan, maka doanya seperti busur yang tipis sekali, maka anak panah keluar darinya sangat lemah, atau karena terdapat yang menahan dari pengabulan doa, seperti; makan harta yang haram, perbuatan zhalim, dosa-dosa yang menutupi hati, terlalu lalai, penuh hawa nafsu dan kelalaian. Sebagaimana yang di sebutkan di alam kitab Al Muastdarak akrya Al Hakim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berdoalah kepada Allah dalam keadaan kalian yakin dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak menerima sebuah doa dari hati yang lalai,” maka (doa seperti) ini adalah doa yang bemanfaat, menghilangkan penyakit akan tetapi lalainya hati terhadap Allah membatalkan kekuatannya dan begitujuga memakan yang haram membatalkan kekuatannya dan mengguranginya. Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu berkata, “Cukup doa disertai dengan amalan yang baik sebagaimana makanan disertai dengan garam.”
Beliau juga berkata, “Dan doa termasuk obat yang paling manjur, ia adalah musuhnya bala, melawannya, melarang turunya dan mengangkat dan meringankannya jika ia turun, dan ia adalah senjatanya orang beriman. Doa berhadapan dengan bala tiga keadaan;
1-Doanya lebih kuat daripada bala maka ia menolaknya.
2-Doanya lebih lemah daripada bala, maka akhirnya bala yang menang, dan mengenani hamba akan tetapi terkadang meringankannya jika ia lemah.
3-Doa dan bala’ saling berlawanan dan manahan setiap salah satu dari keduanya.”
Lihat kitab Al Jawab Al Kafi, karya Ibnul Qayyim rahimahullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar