SEJARAH MAULID NABI –Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
Asal muasal Maulid Nabi, yaitu berasal dari kaum bathiniyyah (kebatinan)
yang memiliki dasar-dasar akidah Majusi dan Yahudi yang menghidupkan
syiar-syiar kaum salib; maka di sini kita perlu mengatakan kepada orang-orang
yang menilai masalah secara proporsional, logis dan obyektif:
“Apakah benar jika kita menjadikan orang-orang seperti itu sebagai sumber
ibadah kita dan syiar agama kita?”
Sementara kita mengatakan:
“Sesungguhnya abad-abad awal yang diutamakan oleh Allah, tempat para panutan
kita -salafuna shalih- hidup tidak ada secuilpun bagi adanya ibadah semacam
ini, apakah dari ulamanya ataupun dari masyarakat awamnya. Tidakkah cukup bagi
kita apa yang dahulu cukup bagi mereka, salafus shalih itu?”
kaligrafi-nabi-muhammad-saw_823642384
Ilustrasi: kajiansunnah.net
Orang yang memperhatikan sejarah Nabi saw, serta sejarah para sahabat dan
para tabi’in serta atba’ tabi’in bahkan hingga generasi sesudah tahun 350 H,
tidak akan mendapatkan seorangpun dari umat Islam yang mengadakan mauludan atau
Perayaan Maulid Nabi, atau memerintahkannya, atau bahkan membicarakannya. Imam
al-Hafizh as-Sakhawi al-Syafi’i dalam fatawanya berkata: “Perayaan maulid tidak
dinukil dari seorangpun dari salaf shalih di tiga zaman yang utama. Akan tetapi
hal itu terjadi setelah itu.” (Mengutip dari Subulul Huda war-Rasyad (1/439),
karya al-Shalihi, cetakan Kementrian Waqaf Mesir.)
Jadi pertanyaannya yang sangat mengusik adalah: Sejak kapan Perayaan Maulid
ini ada? Apakah diadakan oleh para ulama, atau para raja, atau oleh para
khulafa` ahlus sunnah yang dipercaya agamanya? Ataukah dari orang-orang yang
menyimpang dan memusuhi sunnah? (Nashir ibn Yahya al-Hanini, dalam al-Maulid
an-Nabawi, Tarikhuh, Hukmuh, Atsaruh)
Pertanyaan ini dijawab oleh para ulama Islam, diantaranya oleh Syaikhul
Azhar Syaikh Athiyah Shaqr:
“Para sejarawan tidak mengetahui seorangpun yang merayakan Maulid Nabi
sebelum Dinasti Fathimiyyah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ustadz Hasan
as-Sandubi.
Mereka merayakan Maulid Nabi di Mesir dengan pesta besar. Mereka membuat kue
dalam jumlah besar dan membagi-bagikannya, sebagaimana yang dikatakan oleh
al-Qalqasandi dalam kitabnya Shubhul A’sya.” Lalu Syaikh Athiyah mejelaskan
urutan sejarah maulid sebagai berikut:
Pertama:
Di Mesir. Orang-orang Fathimiyyah merayakan berbagai macam maulid untuk
ahlul bait. Yang pertama kali melakukan adalah al-Muiz lidinillah (341-365H)
pada tahun 362 H. Mereka juga merayakan Maulid Isa (natalan) sebagaimana
dikatakan oleh al-Maqrizi as-Syafi’i dalam kitab as-Suluk Limakrifati Dualil
Muluk. Kemudian Maulid Nabi- begitu pula maulid-maulid yang lain- pada tahun
488 H karena khalifah al-Musta’li billah mengangkat al-Afdhal Syahinsyah ibn
Amirul Juyusy Badr al-Jamali sebagai mentri. Ia adalah orang kuat yang tidak
menentang ahlus sunnah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Atsir dalam kitabnya
al-Kamil: 5/302. Hal ini berlangsung hingga kementrian diganti oleh al-Makmun
al-Bathaihi, lalu ia mengeluarkan instruksi untuk melepas shadaqat (zakat) pada
tanggal 13 Rabiul Awal 517 H, dan pembagiannya dilaksanakan oleh Sanaul Malik.
(Mei 1997, Fatawa al-Azhar: 8/255)
Sejarahwan sunni Syaikh al-Maqrizi al-Syafi’i (854 H) dalam kitab
al-Khuthath (1/490 dan sesudahnya) berkata:
“Menyebut hari-hari di mana para khalifah Fathimiyyah menjadikannya sebagai
hari raya dan musim perayaan, pesta besar bagi rakyat dan banyak kenikmatan di
dalamnya untuk mereka.”
Lalu dia mengatakan:
“Adalah para khalifah Fathimiyyah di sepanjang tahun memiliki hari-hari raya
dan hari-hari besar, yaitu: Hari Raya Tahun Baru, Hari Raya Asyura`, Hari Raya
Maulid Nabi saw, Hari Raya Maulid Ali ibn Abi Thalib ra, Maulid Hasan dan
Husain as, Maulid Fathimah as, Maulid Khalih al-Hadir (yang sedang berkuasa),
Malam Awal Rajab, Malam Nishfu Sya’ban, Malam Ramadhan, Ghurrah (awal)
Ramadhan, Simath (tengah) Ramadhan, Malam Khataman, Hari Raya Idul Fitri, Hari
Raya Kurban, Hari Raya Ghadir (Khum), Kiswah as-Syita` (pakaian musim hujan),
Kiswah as-Shaif (pakaian musim panas), Hari Besar Pembukaan Teluk, Hari Raya
Nairuz (tahun Baru Persia), Hari Raya al-Ghuthas, Hari Raya Kelahiran, Hari
Raya Khamis al-Adas (khamis al-ahd, 3 hari sebelum Paskah), dan hari-hari
Rukubat.”
Sementara dalam kitab Itti’azhul Khunafa` (2/48) al-Maqrizi berkata: (pada
tahun 394 H) “Pada bulan Rabiul Awal manusia dipaksa untuk menyalakan
kendil-kendil (lampu) di malam hari di rumah-rumah, jalan-jalan dan gang-gang
di Mesir.” Di tempat lain (3/99) ia berkata: (pada tahun 517 H)
”Dan berlakulah aturan untuk merayakan Maulid Nabi yang mulia pada bulan
Rabiul Awal seperti biasa.” Untuk keterangan lebih lanjut mengenai apa yang
terjadi saat perayaan Maulid Nabi dan besarnya walimah maka silakan merujuk
pada al-khuthath; 1/432-433; Syubul A’sya, karya al-Qalqasandi: 3/498-499).
Setelah mengutip kutipan di atas maka Syaikh Nashir ibn Yahya al-Hanini
penulis al-Maulid an-Nabawi menyimpulkan: “Dari kutipan di atas, renungkanlah
bersama saya. Bagaimana Maulid Nabi dikumpulkan bersama bid’ah-bid’ah besar
seperti:
a) Bid’ah Syi’ah dan ghuluw (kultus) terhadap ahlul bait yang tercetus dalam
Maulid Ali, Maulid Fathimah, Maulid Hasan dan Husain.
b) Bid’ah hari besar Nairuz, hari raya Ghuthas, dan hari maulid Isa (natal),
yang kesemuanya adalah hari raya Kristen. Ibnul Turkmani dalam kitabnya al-Luma’
fil Hawadits wal Bida’ (1/293-316) berkata tentang hari-hari raya milik Nashari
tersebut: “Pasal, termasuk bid’ah dan kehinaan adalah apa yang dilakukan oleh
kaum muslimin pada Hari Raya Nairuz milik Nasrani dan hari-hari besar mereka,
yaitu ikut menambah uang belanja (lebih dari hari biasanya).” Ia berkata,
“Nafkah ini tidak akan diganti (oleh Allah) dan keburukannya akan kembali
kepada orang yang mengeluarkannya, cepat atau lambat.”
Lalu dia berkata, “Di antara sedikitnya taufiq dan kebahagiaan adalah apa
yang dilakukan oleh orang muslim yang buruk pada hari yang disebut dengan hari
Natal (kelahiran/ maulid Isa).”
Kemudian ia mengutip ucapan ulama-lama Madzhab Hanafi bahwa siapa yang
melakukan perkara-perkara di atas dan tidak bertaubat maka ia kafir seperti
mereka.
Kemudia ia menyebut hari-hari raya Nasrani yang biasa diikuti oleh
orang-orang Islam yang jahil. Dia menjelaskan keharamannya berdasarkan al-Quran
dan Sunnah melalui kaedah-kaedah syariat. Dengan demikian, maka yang pertama
kali mengadakan Maulid Nabi adalah Banu Ubaid yang dikenal dengan sebutan
Fathimiyyiin.
Kedua:
Di Mesir. Ketika datang Dinasti Ayyubiyah (yang dimulai pada saat
Shalahuddin al-Ayyubi menggulingkan khalifah Fathimiyyah terakhir al-Adhidh
Lidinillah pada tahun 567 H/ 1171 M ) maka dibatalkanlah semua pengaruh kaum
Fatimiyyin di seluruh wilayah negara Ayyubiyah, kecuali Raja Muzhaffar yang
menikahi saudari Shalahuddin al-Ayyubi ini. Perayaan maulid ini kembali
dihidupkan di Mesir pada masa Mamalik, pada tahun 922 H oleh khalifah Qanshuh
al-Ghauri. Kemudian, tahun berikutnya 923 H ketika Orang-Orang Turki Usmani
memasuki Mesir maka mereka meniadakan maulid ini. Namun setelah itu muncul
kembali. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Iyas.
Ketiga:
Irak. Kemudian di awal abad ke-7 H perayaan maulid menjadi acara resmi di
kota Arbil, melalui sultan Muzhaffaruddin Abu Said Kukburi ibn Zainuddin Ali
Ibn Tubaktakin. Dia seorang Sunni (bukan Syi’ah seperti bani Ubaid Fatimiyyin).
Dia membuat kubah-kubah di awal bulan Shafar, dan menghiasinya dengan seindah
mungkin. Di hari itu, dimeriahkan dengan nyanyian, musik dan hiburan qarquz,
Gubernur menjadikannya sebagai hari libur nasional, agar mereka bisa menonton
berbagai hiburan ini. Kubah-kubah kayu berdiri kokoh dari pintu benteng sampai
pintu al-Khanqah. Setiap hari setelah shalat ashar Muzhaffaruddin turun
mengunjungi setiap kubah, mendengarkan irama musik dan melihat segala yang ada
di sana. Ia membuat perayaan maulid pada satu tahun pada bulan ke delapan, dan
pada tahun yang lain pada bulan ke 12. Dua hari sebelum maulid ia mengeluarkan
onta, sapi dan kambing. Hewan ternak itu diarak dengan jidor menuju lapangan
untuk disembelih sebagai hidangan bagi masyarakat.
Sementara menurut Abu Syamah dalam kitab al-Ba’its ala Inkaril Bida’
wal-Hawadits mengatakan: Orang yang pertama melakukan hal tersebut di Mosul
(Mushil) adalah syaikh Umar ibn Muhammad al-Mulla salah seorang shalih yang
terkenal, maka penguasa Arbil meniru beliau.” Para sejarawan termasuk Ibnu
Katsir dalam Tarikhnya menyebutkan bahwa perayaan maulid yang diadakan oleh
Raja Muzhaffar ini dihadiri oleh kaum shufi, melalui acara sama’ (pembacaan
qashidah dan nyanyian-nyanyian keagamaan kaum shufi) dari waktu zhuhur hingga
fajar, dia sendiri ikut turun menari/ bergoyang (semacam joget-ala shufi).
Dihidangkan 5000 kambing guling, 10 ribu ayam dan 100.000 zubdiyyah (semacam
keju), dan 30.000 piring kue. Biaya yang dikeluarkan untuk acara ini –tiap
tahunnya- sebesar 300.000 Dinar. Syaikh Umar ibn Muhammad al-Mulla yang menjadi
panutan sultan Muzhaffar adalah seorang shufi yang setiap tahun mengadakan
perayaan maulid dengan mengundang umara, wuzara (para mentri) dan ulama
(shufi). Ibnul Hajj Abu Abdillah al-Abdari berkata, “Sesungguhnya perayaan ini
tersebar di Mesir pada masanya, dan ia mencela bid’ah-bid’ah yang ada di
dalamnya.” (Al-Madkhal: 2/11-12) Pada abad ke 7 kitab-kitab maulid banyak
ditulis, seperti kisah ibn Dahiyyah yang meninggal di Mesir w. 633 H, Muhyiddin
Ibnul Arabi yang wafat di Damaskus tahun 638 H, ibnu Thugharbek yang wafat di
Mesir tahun 670 H, dan Ahmad al-’Azli bersama putranya Muhammad yang wafat
tahun 677 H.
Karena banyaknya bid’ah-bid’ah yang menyertai acara maulid maka para ulama
mengingkarinya, bahkan mengingkari hukum asal maulid. Di antara mereka adalah
al-Fakih al-Maliki Tajuddin Umar ibn Ali al-Lakhami al-Iskandari yang dikenal
dengan sebutan al-Fakihani yang wafat tahun 731 H. Dia menuliskannya dalam
risalah al-Maurid fil Kalam alal Maulid. Hal ini disebutkan oleh Imam Suyuthi
dalam kitabnya Husnul Maqshad.
Kemudian Syaikh Muhammad al-Fadhil ibn Asyur berkata, “Maka datanglah abad
ke 9, sementara manusia berselisih antara yang membolehkan dan melarang. Imam
Ibnu Hajar al-Asqalani (773-852), as-Suyuti (849-911) dan Ibnu Hajar al-Haitami
(909-974) menganggap baik, dengan pengingkaran mereka terhadap bid’ah-bid’ah
yang menempel pada acara maulid. Mereka menyandarkan pendapat mereka pada
firman Allah yang artinya:
“Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.” (QS. Ibrahim: 5)
Imam Nasai, dan Abdullah ibn Ahmad dalam Zawaid al-Musnad, serta al-Baihaqi
dalam Syu’abul Iman dari Ubay ibn Ka’b, dari Nabi saw, beliau menafsiri
hari-hari Allah dengan nikmat-nikmat Alah dan karunia-Nya.” (Ruhul Ma’ani,
karya al-Alusi) Sedangkan kelahiran Nabi saw adalah nikmat Allah yang besar.
Saya katakan:
Betul, mengingatkan nikmat-nikmat Allah termasuk di dalamnya adalah Maulid
Nabi saw melalui khutbah, ceramah, kajian, dan tulisan, bukan dengan hari raya
dan perayaan atau pesta atau idul milad atau mauludan.
Penutup
Pembaca yang mulia, setelah kita mengetahui asal muasal Maulid Nabi, yaitu
berasal dari kaum bathiniyyah (kebatinan) yang memiliki dasar-dasar akidah
Majusi dan Yahudi yang menghidupkan syiar-syiar kaum salib; maka di sini kita
perlu mengatakan kepada orang-orang yang menilai masalah secara proporsional,
logis dan obyektif:
“Apakah benar jika kita menjadikan orang-orang seperti itu sebagai sumber
ibadah kita dan syiar agama kita?”
Sementara kita mengatakan sekali lagi:
“Sesungguhnya abad-abad awal yang diutamakan oleh Allah, tempat para panutan
kita -salafuna shalih- hidup tidak ada secuilpun bagi adanya ibadah semacam
ini, apakah dari ulamanya ataupun dari masyarakat awamnya. Tidakkah cukup bagi
kita apa yang dahulu cukup bagi mereka, salafus shalih itu?
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta Alam, sholawat dan salam untuk Nabi
dan Rasul yang paling mulia, Nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan para
sahabatnya.
Sesungguhnya Allah dengan segala kekuasaan-Nya telah mengutus Nabi-Nya Muhammad
dan telah memberinya kekhususan dan kemuliaan untuk menyampaikan risalah.
IA telah menjadikannya Rahmat bagi seluruh Alam dan pemimpin bagi orang-orang
yang bertaqwa serta menjadikannya orang yang dapat memberi petunjuk ke jalan
yang lurus
.
Maka seorang hamba harus taat kepadanya,
menghormati dan melaksanakan hak-haknya.
Dan di antara hak-haknya adalah Allah mengkhususkan
baginya sholawat dan memerintahkan kita untuk itu, di dalam kitab-Nya yang
Agung (Al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya yang mulia (Al-Hadits).
Di mana orang yang yang bersholawat untuknya akan memperoleh pahala yang
berlipat ganda.
Maka sungguh berbahagia-lah orang yang mendapatkan itu.
Dan karena masalah ini memiliki urgensi yang sangat besar dan pahala yang besar
pula, maka kami merasa perlu untuk mengeluarkan tulisan-tulisan sederhana ini,
yang di dalamnya terdapat motivasi untuk memperbanyak sholawat dan salam untuk
Nabi dan Rasul yang paling mulia ini.
Yaa Allah..! Curahkan-lah Sholawat dan Salam atas Nabi dan Kekasih-Mu
Muhammad selama siang dan malam yang silih berganti..
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai
orang-orang yang beriman, bershalawat-lah kamu untuk Nabi dan ucapkan-lah salam
penghormatan kepada-nya.”
(QS. Al-Ahzab: 56)